ISLAM BERKEMBANG DI INDONESIA BUKAN DENGAN MERUSAK BUDAYA

Kegelisahan atas pergeseran cara pandang, panutan, dan orientasi bangsa ini menjadi perbincangan gayeng dalam ngaji budaya Suluk Maleman edisi ke-51 di Rumah Adab Indonesia Mulia Jalan Diponegoro 94 Pati, Jawa Tengah, Sabtu (19/3) malam. Jika tidak dikembalikan pada “kiblat” semula, maka semakin menerjunkan bangsa pada kemunduran perabadan.
KH Abdul Ghofur Maimoen, Herman Sinung Janutama, Anis Sholeh Ba’asyin, dan pemapar lain dalam ngaji interaktif itu sepakat dengan sikap hidup bervisi dan berorientasi. Gus Ghofur mengajak masyarakat untuk memiliki idola dengan profil yang merepresentasikan Allah.
Bukan berarti berkiblat pada orang yang menuhankan dirinya, tetapi mendekat dengan ulama. Namun, pilihan idola juga perlu didasari atas kecermatan. Mengingat, saat ini banyak tokoh panutan yang hilang.
Putra ulama kharismatik KH Maimoen Zubair ini menyebut, Nabi Muhammad merupakan panutan sekaligus idola yang menyedot perhatian banyak kalangan. Itu lantaran kesalehannya dapat dipertanggungjawabkan sebagai “wakil” Allah.
Dalam urusan dunia saja, seperti memilih wakil rakyat, orang sekarang banyak yang dilandasi karena uang. Bukan atas pilihan sendiri yang murni mempertimbangkan perbaikan. Ini harus diubah, karena manusia beragama harus mempunyai visi dan orientasi sebagai makhluk Allah,” jelasnya.
Dilihat dari sejarah, kata dia, Islam berkembang di Indonesia bukan dengan merusak budaya yang telah ada. Itu kenapa Islam, terutama di Jawa menjadi mayoritas. Karenanya, ciri khas Islam Nusantara sangat tepat.
Sejarawan dan budayawan Herman Sinung Janutama lebih mengambil hikmah dari falsafah Jawa. Jawa, menurutnya menjadi dapat kembali menjadi songgo buwono dengan bekal iman daya mukti.
Itu bekal hidup bagi orang Jawa. Jadi, dengan keteguhan iman, maka akan berdaya dan bakal mukti. Itu tercantum dalam Surat Sutasoma yang merupakan bekal raja-raja Jawa zaman dulu,” paparnya.
PENYESATAN
Di tengah merasuknya nilai individualis dan materilis, bangsa ini butuh kebangkitan. Bangsa Indonesia patut kembali menghargai budaya dan keunggulan peradaban Nusantara yang dipercaya lebih maju ketimbang bangsa lain.
Hanya, sekarang menurutnya terjadi pergeseran yang luar biasa. Ilmu falak dengan dasar matematika sejak dulu sudah dikuasai bangsa ini. Namun, kini falak seperti tidak diperbolehkan dalam istilah barat dan diganti dengan astronomi.
Matematika sekarang berkiblat ke barat, padahal dulu di Jawa,” katanya dalam ngaji budaya yang mengambil tema “Kiblat yang Berubah”.
Sang sahibul bait Anis Sholeh Ba’asyin mengemukakan, potensi besar bangsa ini perlu disadari bersama. Menurutnya, mudahnya sebagian kalangan berujar penyesatan atas budaya Jawa yang penuh filosofis berbalut agamis perlu diluruskan.
Seperti budaya Jawa berupa wiwit, yang dulu sering dilakukan petani ketika hendak panen padi jika dipahami bukan musyrik. Selain banyak makna filosofis, biasanya tradisi itu juga dilakukan dengan doa bersama secara Islami,” tandasnya.
Karenanya, kekayaan potensi tradisi dan budaya Jawa tidak sepatutnya dipersoalkan. Terlebih untuk kepentingan mengubah nilai luhur bangsa dengan sokongan dana luar negeri.
Ada kecenderungan itu menjadi fakta belakangan ini. Mari kita waspada dan tidak mudah terpancing isu-isu dan ujaran provokatif berupa klaim kesesatan dalam setiap tradisi dan budaya luhur yang dilestarikan,” lanjut pimpinan Orkes Puisi Sampak GusUran ini.
(Sumber: NU Online)

Post a Comment