Arus Balik


Lebaran sudah berakhir, yang sebelumnya berpuasa, mudik kembali ke kampung halamannya kini kembali lagi ke perantauan. Kembali ke aktifitas dan kebiasaan lama mareka sebelum Ramadhan dan Lebaran. Ketika Ramdhan kita bisa menjadi malaikat yang setiap waktunya diisi dengan kegiatan yang “seolah-oleh” untuk mendekatkan diri dengan Tuhannya, sebagai hamba yang penuh dosa sehingga berlomba-lomba mengais “obral” pahala yang dijanjikan Tuhannya. Setiap dari kita bisa menjadi malaikat yang sangat taat selama 30 hari, mampu menahan nafsu sejak fajar hingga terbenamnya matahari.
Ketika hari kemenangan tiba kita pun bisa menjadi umat yang berhati besar, mampu meletakkan ego masing-masing untuk saling memaafkan kerabat dan tetangga yang pernah kita dzolimi baik secara langsung maupun tidak langsung, menjalin silaturahmi dengan datang ke kerabat dan tetangga yang jarang kita temui karena kesibukan kita masing-masing. Ketika lebaran seolah-olah kita “merasa” lahir kembali, suci kembali, hal itu ditandai dengan baju baru kita, ucapan-ucapan sufistik yang kita sebarkan ke kerabat dan tetangga kita. Kita “merasa” menjadi orang yang baru, orang yang beruntung dan orang yang kembali ke FitrahNya.
Namun ketika “Arus Balik” tiba kita kembali ke sifat asli kita, apa yang telah kita citrakan selama Ramadhan dan Lebaran sirna begitu saja, kita yang seperti malaikat, kita yang taat kita yang mampu meletakkan ego masing-masing hilang begitu saja. Kita kembali menjadi orang sama seperti sebelum Ramadhan dan Lebaran tiba, menjadi arogan, merasa paling benar, marasa paling tahu, mampu menghakimi makhluk Tuhan yang lain, bahkan menjadi lebih “dzolim” dari sebelumnya. Apakah ini merupakan hasil luapan kebencian yang kita tahan selama Ramadhan dan Lebaran ? Kita menjadi makhluk yang menjadikan aib orang lain menjadi nutrisi utama tubuh kita, sehingga kita selalu mencari-cari bahkan membuat fitnah agar kita bisa tahu dan mengumbar aib orang lain baik yang kita benci maupun tidak, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.

Apakah ini yang kita sebut kembali ke Fitrah ? atau kita hanya terbawa arus balik ? Entah hanya kita yang tahu. Kita yakin tidak semuanya seperti ini, ada banyak dari kita yang istikomah dengan sikap, perilaku yang kita citrakan saat Ramadhan dan Lebaran, tetap menjadi hambaNya yang lebih taat beribadah, lebih memapu toleran, lebih mengedepankan rasa cinta dalam kehidupan sehari-hari dan yang paling penting tetap menjadi manusia yang memanusiakan makhlukNya tanpa melihat agama, tahta, harta, ras dan sukunya.

Post a Comment