(karya adikku : Surya Dewi Nugraheni)
Seorang gadis sedang
duduk di halte bus. Dia tampak sedang tidak menunggu bus, sudah banyak bus
disana namun dia tak menaiki bus-bus itu. Setelah duduk disana, ada seorang
lelaki yang menghampirinya. Gadis itu terlihat senang karena kedatangan lelaki
itu.
“Assalamualaikum Hanin.
Sudah lama menunggu?” Tanya lelaki itu.
“Waalaikumsalam.
Alhamdulilah Mas Gibran datang juga. Sudah dari sore aku menunggu disini mas.”
Jawab sang gadis.
“Ayo pulang sudah mau
magrib. Nanti aku kena marah ibumu kalau sampai kamuntelat pulang” ajak lelaki
tersebut.
Hanin dan Gibran
pertama kali bertemu secara tidak sengaja di bus kota. Saat itu Hanin sedang
duduk sendiri di bangku bus kota. Gibran kebingungan mencari tempat duduk.
Bangku-bangku sudah penuh, hanya tersisa satu disebelah Hanin.
“Permisi mbak, boleh
saya duduk disini?”
Hanin bingung untuk
mempersilahkan Gibran duduk, karena saat itu dia belum mengenal Gibran dan tak
tahu Gibran lelaki baik-baik atau tidak. Maklum sangat marak kejahatan yang
terjadi di bus kota. Setelah berfikir lama Hanin mempersilahkan Gibran duduk.
“Em, iya mas silahkan
duduk.” jawab Hanin ragu-ragu.
“Terima kasih mbak.”
Perjalanan mereka cukup
jauh untuk sampai ke tujuan mereka masing-masing. Setelah hanya berdiam diri,
Gibran mencoba memulai percakapan.
“Nama mbak siapa?
Perkenalkan saya Gibran.” Sambil mengajak Hanin bersalaman.
“Nama saya Hanin mas.”
Tanpa menjabat tangan Gibran.
“Oh mbak Hanin. Mau
kemana?” sambil menurunkan tangannya dan menahan sedikit rasa malu.
“Ke Surabaya mas.” Dengan
menundukkan kepala.
“Wah sama dong, saya
juga mau ke Surabaya.” Jawab Gibran sambil tersenyum.
Kerena kurang nyaman
berbicara dengan orang asing, Hanin memutuskan untuk tidur.
“Surabayanya mana
mbak?” Tanya Gibran sambil menengok kearah Hanin.
“Yah malah ditinggal
tidur. Baru tahu namanya belum alamat sama nomor HPnya.” Gerutu Gibran.
Ditinggal Hanin tidur
Gibran memainkan HPnya. Saat asik bermain Hp, Gibran merasakan kursinya
bergetar. Dia mencari sumber getaran. Rupanya itu getaran dari tubuh Hanin yang
sedang kedinginan. Melihat seorang gadis disebelahnya kedinginan Gibran pun
mematikan AC diatas tempat duduk mereka dan melepaskan jaketnya untuk
menyelimuti tubuh Hanin.
Ketika Hanin tidur
Gibran selalu memandangi wajah Hanin.
“Cantik juga gadis ini.
Meski kulitnya hitam tapi sungguh manis dipandang. Tak bosan aku melihat
wajahnya. Sepertinya dia juga gadis yang baik. Pakaiannya sopan, tutur katanya
juga santun. Kalau jodohku secantik ini aku tak menolak Ya Allah. Em, aku malah
mikir yang aneh-aneh.” Kata Gibran dalam hati sambil tersenyum sendiri.
Beberapa saat kemudian
Hanin terbangun. Dia tampak bingung karena tak tahu siapa yang menyelimutinya
dengan jaket. Dia berfikir jika jaket itu milik Gibran. Hanin bermaksud
berterima kasih pada Gibran, tetapi Gibran sedang tidur. Saat Gibran tidur
Hanin memandangi wajah Gibran.
“sepertinya lelaki ini
orang yang baik. Dia mau meminjamkan jaketnya untuk menyelimutiku. Wajahnya
juga tampan. Astaghfirullah tak seharusnya aku berfikir begini.” Kata Hanin
dalam hati.
Tak terasa bus telah
tiba di Surabaya. Satu persatu penumpang turun dari bus. Saat menuruni bus
Gibran bertanya.
“Gimana tidurnya enak?
Nggak kedinginankan?”
“ Terima kasih mas
jaketnya.” Jawab Hanin.
Setelah itu mereka
berpisah. Itulah pertemuan pertama mereka.
***
“Assalamualaikum Hanin
pulang bu pak.”
Hanin telah tiba
dirumahnya. Kedua orangtuanya dengan senang hati menyambut kepulangan Hanin.
Hanin pun langsung mencium tangan kedua orangtuanya. Hari itu Hanin hanya
menghabiskan waktu untuk keluarga. Saat malam datang Hanin masuk kekamarnya dan
naik ketempat tidur. Tiba-tiba ia teringat Gibran.
“Ada apa denganku?
Mengapa lelaki itu tiba-tiba muncul dibenakku? Gibran, nama yang bagus. Sebagus
wajahnya dan sikapnya. Apakah aku sedang? Ah apa sih, tidur-tidur.” Hanin tidur
untuk menghilangkan bayang-bayang Gibran di otaknya.
Suatu hari Gibran duduk
santai ditaman untuk menghabiskan sore harinya. Di taman ia selalu memikirkan
Hanin. Ia tersenyum mengingat paras cantik Hanin kala itu.
“cantik sekali wajah gadis
itu. Siapa namanya? Oh ya, hanin. Hssst hanin-hanin wajahmu mengalihkan
duniaku. Apa mungkin aku jatuh cinta padanya? Sayang, aku tak sempat meminta
nomor Hpnya”.
Benih-benih cinta mulai
bersemi dihati mereka. Pertemuan pertama mereka selalu teringat dipikiran hanin
maupun Gibran. Terlebih pada Gibran yang menyesal karena tak sempat meminta
nomor HP Hanin.
***
Setelah sekian lama
mereka tak bertemu, mereka bertemu kembali di ruang meeting. Saat itu Gibran
sedang menyampaikan proyeknya. Tak terduga, ternyata diruangan itu ada Hanin.
Hanin sempat memberikan senyuman pada Gibran. Wajah Gibran langsung menjadi
merah. Gibran sempat kehilangan konsentrasinya sesaat karena memandang wajah
hanin. Hanon yang sadar akan hal tersebut segera mengingatkan Gibran untuk
konsentrasi. Gibran pun semakin bersemangat dan percaya diri mrnyampaikan
proyeknya.
Selesai meeting Gibran
menghampiri hanin.
“hai!” Gibran menyapa
Hanin malu-malu.
“Mas Gibran ya?” Tanya
Hanin.
“E, iya. Masih ingat
saya rupanya. Hanin apa kabar?”
“Baik mas. Mas Gibran
apa kabar?”
“ Baik juga, apalagi
setelah bertemu hanin lagi. Hanin kerja disini?”
“iya mas. Tadi
presentasinya bagus lho.”
“ terima kasih atas
pujiannya. Semoga kitabisa bekerja sama dengan baik. Aku boleh minta nomor HP
nggak? Biar lebih mudah ngomongin proyeknya.” Gibran mencari alasan untuk
mendapatkan nomor HP hanin.
“boleh kok mas.
Sebentar ya. Ini kartu nama saya. Mas Gibran bisa menghubungi saya dari nomor
itu.”
“terima kasih hanin.
Mau pulang bareng nggak?”
“terima kasih tawarannya
mas, saya bawa mobil sendiri.” Hanin menolak.
“ya sudah saya pulang
dulu. Assalamualaikum Hanin.”
“waalaikumsalam.”
Gibran sangat senang
mendapatkan kartu nama hanin. Tak hanya nomor HP, ia juga mendapatkan alamat
rumah Hanin. Setiap hari Gibran mengirim sms untuk Hanin. Melalui sms mereka
menjadi semakin akrab. Sampai suatu hari Gibran mengunjungi rumah hanin.
“Assalamualaikum.”
Gibran mengetuk pintu.
“waalaikumsalam. Loh
mas Gibran ada apa mas?” Hanin terkejut melihat kedatangan Gibran.
“Siapa
nak?” Tanya ayah Hanin.
“assalamualikum
pak.”Gibran menyapa ayah Hanin.
“silahkan masuk nak.
Hanin ada tamu kok nggak disuruh masuk.”
“terima kasih
pak”Gibran masuk kerumah hanin.
Hanin tidak menjawab
pertanyaan ayahnya dan langsung meninggalkan Gibran dan ayahnya.
“silahkan duduk nak.
Sebenarnya anda ini siapa nak? Teman hanin? Saya kok tidak familiar.” Tanya
ayah hanin.
“Saya Gibran pak, teman
Hanin. Saya memang baru pertama kali kemari.”
“lalu maksud kedatangan
nak Gibran kemari apa? Ada perlu dengan Hanin?”
“tidak pak saya kemari
ada perlu dengan bapak.”
“ada perlu dengan saya
kenapa nak?”
“saya datang kemari mau
kinta izin. Apa saya boleh menjadi pacar Hanin?” Tanya Gibran malu-malu.
“Nak Gibran ini ada-ada
saja. Mau pacaran dengan Hanin kok Tanya saya. Memang Hanin sudah mau?” Tanya
ayah Hanin heran.
“Saya justru belum
Tanya Hanin. Menurut saya lebih baik bapak sudah tau siapa orang yang dekat
dengan anak bapak terlebih dahulu.”
“ Ya wis, ya wis. Hanin
sini nak!” ayah hanin memanggil Hanin.
“iya pak ada apa?”
Hanin menghampiri ayahnya.
“ Kamu kok nggak pernah
cerita punya teman nak Gibran? Ini nak Gibran mau ngomong sama kamu.”
“Iya Pak.” Jawab hanin
malu-malu.
“Bapak masuk dulu ya.”
“Jangan Pak , bapak
disini saja.” Hanin melarang.
Ayah hanin kembali
duduk disamping Hanin.
“Hanin apa kabar?”
Gibran memulai percakapan.
“Baik mas.”
“Nak Gibran nggak usah
malu-malu. Tanya saya aja berani, ini sudah ada Hanin cepet kalau mau nembak.”
Celetuk ayah hanin.
“em…. Hanin maksud saya
kesini mau nembak Hanin. Hanin mau nggak jadi pacar saya? Tanya Gibran gerogi.
“pak gimana pak?” hanin
bertanya pada ayahnya.
“ya terserahmu,
emangnya bapak yang pacaran?”
“ maaf mas Gibran, aku
piker-pikir dulu ya?” jawab Hanin.
Gibran sedikit kecewa
dengan jawaban Hanin. Gibran pun pulang.
Tiga hari kemudian
Gibran mendapat sms dari Hanin. Hanin menyuruh Gibran untuk mengunjungi
rumahnya esok hari.
Keesokan harinya Gibran
kembali ke rumah hanin. Dirumah Hanin member jawaban pada Gibran.
“gimana hanin, aku
dirterima nggak?”
“em…. Meski kita belum
lama kenal tapi aku bersedia menjadi pacar Mas Gibran.”
“Wah, beneran nih?”
bapak ibumu boleh nggak kalau kita pacaran?”
“bapak ibu terserah aku
mas.”
“Alhamdulillah.”
Pada hari itu Gibran
dan Hanin berpacaran. Mereka berpacaran secrara terbuka dengan orangtua. Gibran
dan hanin menjadi pasangan kekasih yang sangat romantic. Mereak mendukung
pekerjaan meraka satu sama lain. Setiap hari mereka berangkat dan pulang kantor
bersama. Mereka selalu menggunaka bus kota untuk pergi berdua.
Post a Comment