Boooom!
Bom meledak di daerah Sarinah, sedikitnya 4 orang menjadi korban kejadian
tersebut. Pos polisi diledakan, orang sekitar ditembaki, ini mengingatkan saya
pada kejadian di Paris beberapa saat yang lalu. Kejadiannya hampir sama,
diawali dengan ledakan bom lalu dilanjutkan dengan penembakan membabi buta. Apakah
ini kebetulan ? tentu saja tidak. Kejadian yang hampir mirip ini diindikasikan merupakan penyerangan yang terencana, yang dilakukan oleh mereka yang
mengatasnamakan suatu kelompok radikal.
Setiap
kejadian seperti ini selalu ada dua kubu yang berseberangan, yaitu kubu yang
simpatik dan kubu yang nyinyir tidak peduli. Mereka yang simpatik biasa akan
membuat hashtag, infografis, meme, video dan status-status di media sosial yang
memperlihatkan bahwa mereka berempati pada kejadian tersebut. Namun bagi kubu
yang satunya yaitu kubu yang nyiniyir tidak peduli mereka juga membuat hashtag,
infografis, meme, video dan status-status di media social namun yang mereka
hanya “nyinyirin” mereka yang berempati.
Mengapa
bisa seperti itu ? ini saya piker adalah efek dimana hilangnya atau terkikisnya
“rasa”. Hal ini bisa disebabkan karena kurangnya interaksi social yang nyata,
bukan interaksi di media social. Sebagai contoh, sekarang makin banyak tempat
nongkrong yang banyak pengunjugnya namun sedikit percakapannya. Sebagian besar
dari mereka sibuk dengan media social masing-masing. Selain itu makin banyak
juga orang-orang yang lebih suka belajar dari internet dari pada bertanya
langsung ke orang yang paham, ini yang menimbulkan banyaknya “pakar” dadakan
yang setiap hari mengomentari suatu masalah yang dilempar ke media social. Mereka
ini tidak salah, memang belajar bisa dari mana saja dan dengan media apa saja
namun yang menjadi masalah adalah tafsir dan pemahaman mereka pada suatu
kalimat bisa saja tidak sesuai dengan makna asli tulisan tersebut.
Akhir-akhir
ini media social juga menimbulkan “korban” yang membuat pengguna media social menjadi
penghuni penjara, bukan karena mereka mengacaukan system keamanan Negara, namun
karena hal sepele yaitu terlalu mudah untuk menuliskan sesuatu yang menjurus
menghina, menipu dan merendahkan sesorang/komunitas/organisasi/lembaga
tertentu. Mengapa itu bisa terjadi ? menurut saya itu juga dikarenakan
kurangnya interaksi social yang nyata juga. Coba saja jika kita lebih sering
berinteraksi di dunia yang nyata, dengan tersenyum, bertanya, mendengarkan,
ngobrol, berdiskusi, berdebat, bersentuhan, berjabat tangan, berpelukan dan
hal-hal yang lain yang di luar media social, saya yakin pasti para penyiyir ini
tidak ada atau jumlahnya hanya sedikit karena kita masih mempunyai Toleransi,
Empati, Simpati, Tata Krama dan yang paling penting masih punya hati nurani.
Tuhan
menciptakan manusia bukan hanya Akal dan Nafsu, namun juga menciptkan Hati
Nurani yang gunanya untuk membuat manusia tetap manjadi manusia. Walau SUKU
kita BEDA, BANGSA kita BEDA, BAHASA kita BEDA, RAS kita BEDA dan AGAMA kita
BEDA jika kita masih merasa mempunyai hati nurani tidak aka nada yang namanya ribut
masalah TOLERANSI, AGAMA, BUDAYA dan lain-lain yang membuat permusuhan dan
perpecahan. Namun semua ini kembali ke kita masing-masing, apakah kita masih
MANUSIA atau kita hanya “MANUSIA”.
---
SEKIAN ---