Ibadah
haji telah usai, jutaan “haji baru” berduyun-duyun meninggalkan tanah suci
untuk kembali ke daerah asal mereka. Ada yang jalan kaki, ada yang naik sepeda,
ada yang naik motor, ada yang naik mobil, ada yang naik bis, naik kapal dan
banyak yang naik pesawat. Pesawat terbang karena memang berasal jauh dari tanah
suci, ada yang dari Amerika, Inggris, Korea, Filipina, Australia, Somalia, dan
yang terbanyak dari Indonesia. Latar belakangnya juga berbeda ada yang seorang
kiai, konglomerat, ustadz, artis, pegawai negari, pengusaha, pedagang, marbot,
tukang sapu, tukang becak, sopir angkot, pensiunan, anggota partai, anggota
DPR, maling, pengemis, rampok, Bandar narkoba, calo STNK, hampir semua jenis
profesi ada.
Sesampainya
di daerah asal mereka predikat “haji” tersemat di dirinya. Dari tetangga,
saudara, teman, orang yang tidak kenal pun memanggilnya “haji”. Setelah
mengemban predikat haji, yang dulunya biasa saja bisa tampak lebih berwibawa,
lebih terhormat, lebih disegani dan lebih relijius dari yang lain. Yang dulunya
dipandang sebelah mata setelah menjadi “haji” menjadi lebih dihargai, yang dulunya
dianggap miskin setelah menjadi “haji” tidak ada yang menganggapnya miskin.
Menjadi
“haji” adalah suatu cita-cita yang sangat diidam-idamkan seluruh umat Islam di
seluruh dunia. Ribuan orang mengantre untuk berhaji berangkat ke tanah suci
padahal antreanya bisa sampai belasan bahkan puluhan tahun. Jutaan orang yang
lain berjuang banting tulang mengumpulkan harta agar bisa mendaftar ikut
mengantre berangkat ke tanah suci. Bukan hanya calon jamaah haji yang baru,
namun jamaah haji yang lama yang sudah sering berhaji berangkat ke tanah suci
pun ikut mengantre, ada yang sudah dua kali berhaji, tiga kali berhaji bahkan
ada yang lebih dari sepuluh kali berhaji pun ikut mengantre.
Setelah
menjadi “haji” yang dulunya malas ke pengajian jadi lebih sering ikut ke
pengajian bahkan membuat pengajian khusus yang isinya para haji, yang dulunya
kurang menutup auratnya mulai menutup auratnya, yang dulunya malas datang ke
masjid jadi rajin ke masjid. Yang dulunya tidak pernah ditanya pendapatnya
sekarang menjadi selalu ditanyai pendapatnya tentang permasalahan di lingkungan
sekitarnya. Oleh karena itu “karomah” dari ibadah haji inilah yang dicari-cari,
selain keinginan untuk beribadah, mengunjungi Baitullah dan berziarah ke makam
Rasullah.
Sayangnya
tidak sedikit jamaah haji yang pulang dari tanah suci membawa kegagah-gagahan
dari predikat “haji”-nya. Menjadi ingin dihormati, ingin disegani, ingin
dipanggil sebagai “pak haji” dan “bu haji”, ingin dianggap paling benar, ingin
dianggap paling suci, paling kaya dan paling bermartabat di lingkungannya. Setiap
perkataanya harus didengar, dilaksanakan dan dipatuhi, segala keputusan di
lingkungannya harus sepengetahuanya, kemana-mana berpeci, berkalung tasbih,
bergelang tasbis, dan bergamis. Ke masjid, ke pasar, ke balai desa, ke rumah
saudara, ke pos ronda, ke sawah, kemana saja pakaian itu yang dipakainya.
Seakan
lupa dengan ihram yang mereka tunaikan saat ibadah haji. Salah satu pandangan
tentang makna ihram yang dapat diambil sebagai suatu nilai yang dapat dijadikan
sebagai pengingat tentang siapakah kita adalah pemaknaan ihram oleh Cak Nun.
Menurut Cak Nun, “Ihram adalah pelecehan habis-habisan atas segala pakaian dan hiasan keduaniaan
yang palsu, status sosial, gengsi budaya, pangkat, kepemilikan, kedudukan,
kekayaan atau apapun saja yang sehari-hari diburu oleh manusia.”. Bagi yang belum tahu apa itu ihram,
ihram adalah keadaan seseorang yang telah beniat untuk melaksanakan ibadah haji
dan atau umrah. Mereka yang melakukan ihram disebut dengan istilah tunggal
"muhrim" dan jamak "muhrimun". Calon jamaah haji dan umrah
harus melaksanakannya sebelum di miqat dan diakhiri dengan tahallul. Pakaian
ihram bagi laki-laki adalah 2 lembar kain yang tidak berjahit yang dipakai
untuk bagian bawah menutup aurat, dan kain satunya lagi diselendangkan.
Sedangkan pakaian wanita ihram adalah menutup semua badannya kecuali muka dan
telapak tangan (seperti pakaian ketika sholat). Warna pakaian ihram disunatkan
putih. Ketika ihram diharamkan baginya melakukan perbuatan tertentu seperti
memakai pakaian berjahit, menutup kepala (bagi lelaki) dan muka (bagi
perempuan), bersetubuh, menikah, melontarkan ucapan kotor, membunuh binatang
dan tumbuhan, memotong rambut/ kuku, dan lain-lain.
Atas dasar pemaknaan
ihram diatas, apakah pantas jika ada “haji” yang setelah menunaikan ibadah haji
masih ingin dihormati, ingin disegani, ingin dipanggil sebagai “pak haji” dan
“bu haji”, ingin dianggap paling benar, ingin dianggap paling suci, paling kaya
dan paling bermartabat ? malah bukan menjadi manusia yang bijaksana, bisa
menjadi teladan yang baik, berakhlak mulia, memancarkan kesejukan dan kedamaian
bagi lingkungan sekitarnya. Semoga semua jamaah haji Indonesia tergolong
sebagai haji yang mabrur dan output dari ibadahnya bermanfaat bagi kemaslahatan
semua makhluk disekitarnya. Amin