Sudah 70 tahun Indonesia merdeka, hampir setiap tahun
dirayakan dengan sangat meriah di seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Ada yang merayakan dengan mengadakan lomba-lomba, ada yang merayakan dengan
mengunjungi tempat bersejarah, ada yang melakukan upacara baik di lapangan,
diatas gunung maupun dibawah laut dan dengan cara yang lain. Itu semua adalah
cara setiap rakyat Indonesia untuk merefleksikan diri dalam mengisi hari
kemerdekaan Indonesia. Sebagaian anak muda biasanya mereka lebih senang dan
bangga jika bisa melakukan “upacara bendera” mengibarkan Sang Merah Putih diatas
puncak-puncak tertinggi di Indonesia.
Pengibaran Sang Merah Putih di puncak gunung itu
sebenarnya sudah ada dari dulu, biasanya mengadakan adalah Mapala dari beberapa
sekolah atau kampus. Mereka yang melalukan perngibaran bendera di puncak gunung
ini biasanya adalah orang-orang pilihan yang dipilih khusus dengan melakukan
pelatihan fisik maupun mental sebelumnya jadi mereka tahu apa yang harus
dilakukan dan apa yang harus tidak dilakukan saat pendakian, pengibaran dan
penurunan. Kadang pengibaran ini bukan hanya mapala saja namun berkerja sama
dengan dinas tertentu dan TNI/Polri. Tujuannya memang untuk mengibarkan Sang
Merah Putih di puncak tertinggi di Indonesia bahkan di dunia untuk merayakan
Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka yang bisa mewakili
sekolah atau kampusnya pasti bangga.
Namun selain mapala-mapala yang memang ditunjuk khusus,
biasanya ada beberapa kelompok pemuda yang menamakan diri mereka “pecinta alam”
yang ikut-ikutan melakukan pengibaran bersama para mapala atau mereka mengibarkan
sendiri. Para “pecinta alam” ini semakin banyak jumlahnya setelah film 5 cm
beredar di bioskop, YouTube dan Rental Kaset kesayangan anda. Kok bisa film ini
menjadi magnet bagi para “pecinta alam” untuk berbondong-bondong naik
mengibarkan bendera di puncak gunung ? Ya, memang karena filmnya ceritanya
gitu. Sebenarnya gak ada masalah kalo sekarang ini banyak pemuda pemudi yang
suka naik gunung, itu memang hobi yang sangat baik karena mereka bisa melihat
keindahan alam ciptaan Tuhan seperti dapat melihat puncak gunung yang lain,
bunga edelweis, hamparan lautan awan, padang rumput yang luas, hutan yang masih
asri dengan keanekaragaman flora dan faunanya dan lain-lain masih banyak lagi.
Semua itu pasti menarik bagi mereka para “pecinta alam” yang biasanya anak
kota.
Apa lagi dengan kemajuan teknologi dan cepatnya
pertukaran informasi via media sosial semakin membuat banyak orang untuk
berlomba-lomba naik gunung apalagi hingga mengibarkan Sang Merah Putih di
tanggal 17 Agustus. Namun sayangnya tidak semua “pecinta alam” yang naik ke
puncak gunung untuk mengibarkan Sang Merah Putih ini mempunyai teknik dasar
dalam bertahan hidup di alam, mereka biasanya naik ke puncak gunung itu mengandalkan
pengalaman teman yang sebelumnya pernah naik gunung. Hal seperti itu menurut
saya juga tidak sepenuhnya salah, namun teknik dasar bertahan hidup di alam dan
unggah-ungguh ketika berada di alam
bebas seperti gunung itu juga harus diketahui oleh setiap para “pecinta alam”.
Yang paling dasar adalah cara membaca kompas, membuat api, tidak membuang
sampah sembarangan dan menjaga sikap.
Sayangnya ada beberapa oknum “pecinta alam” yang NAKAL,
mereka naik gunung tidak mempunyai skill apa-apa hanya MODAL NEKAD yang penting
bisa foto di puncak gunung terus dipamerin ke teman dan pacar (kalau punya
pacar). Oleh karena itu para oknum ini biasanya juga suka melanggar
aturan-aturan yang sudah dibuat demi keselamatan para pendaki seperti larangan
naik ke puncak, larangan buang sampah, larangan berbicara kotor, larangan
mengambil tumbuhan langka atau hewan langka dan lain-lain. Alhasil mereka
memang jadi terkenal bukan karena hasil gambar atau cerita petualangan mereka
namun karena berita hilangnya mereka di gunung. Bagi para pendaki yang
sebelumnya sudah mengikuti pelatihan dan mempunyai pengalaman jika mereka
tersesat pasti tahu jalan pulangnya namun sayangnya bagi para oknum “pecinta
alam” yang nakal ini mereka biasanya hilang lalu membuat para Tim SAR mencari
mereka. Alhamdulillah jika mereka ditemukan selamat, jika ditemukan dengan
keadaan tidak bernyawa itu kan kasihan. Sebagai contoh seperti kasus-kasus
belakangan ini banyak para oknum “pecinta alam” yang kehilangan nyawanya karena
melanggar aturan-aturan yang diberlakukan saat itu.
Untuk para “pecinta alam” yang baru pertama kali
melakukan pendakian, hendaknya mematuhi segala aturan-aturan yang ada,
setidaknya kalian tahu bagaimana cara membaca arah mata angin, tahu cara
menghangatkan diri dan TAHU DIRI. Sejatinya naik gunung itu bukan puncaknya
namun bagaimana kita memaknai setiap perjalannya didalamnya baik ketika naik
maupun turun, karena yang penting adalah keselamatan Si Pendaki dan mendapat
puncak itu adalah BONUS. Jadi pengibaran Sang Merah Putih di puncak gunung
dalam rangka merayakan hari kemerdekaan itu hak masing-masing sebagai orang
yang berdulat dan merdeka. Seperti kata Cak Nun “Puncak dari KEMERDEKAAN itu bukan menjadi bebas sebebas-bebasnya, namun
Puncak dari KEMERDEKAAN itu adalah pengetahuan tentang batasan”
--
Terima Kasih --